metode wwl

Perjuangan menyusui memang tak pernah mudah, banyak tantangan yang harus dihadapi demi meraih kesuksesan pemberian ASI sampai anak berusia 2 tahun. Setelah gelar S3 itu diperoleh anak, apakah perjuangan lantas usai?
Tentu tidak.
*Oh well, toh perjuangan ibu memang takkan pernah usai 🙂

Yes, medan perang berikutnya setelah tugas menyusui tuntas adalah menyapih sang buah hati. Menyapih. Menghentikan proses penyusuan. Melepaskan mulut anak dari puting ibu. Sulit? Enggak. Tapi SULIT BANGET!!!

Seenggaknya itulah yang saya alami bersama Rayya. Sejak usianya mendekati 2 tahun, saya sudah tahu bahwa menyapih Rayya takkan segampang membalikkan telapak tangan.
Berbagai usaha telah kami lakukan untuk mewujudkan proses menyapih yang berjudul WWL alias Weaning With Love, dimana intinya adalah komunikasi. Anak tidak dipaksa untuk berhenti menyusu tiba-tiba, tapi diberikan pengertian bahwa dirinya sudah besar, harus mengikuti perintah Allah dalam Al Qur’an tentang menyusu paling sempurna sampai 2 tahun, juga bahwa ia bisa minum susu dari gelas, nenen ibu untuk bayi, dkk dll dsb dst… Bahkan, ada sebuah artikel yang menyebutkan bahwa kesuksesan menyapih merupakan gambaran suksesnya komunikasi iman ibu kepada anaknya. Duh, gimana saya nggak tertekan, secara mau menyapih gagal maning gagal maning… Rayya malah makin nempeeel banget, nggak mau tidur kalau belum nenen.

Begituuuuu… Sampai lewatlah tenggat waktu dari 2 tahun menjadi 2,5 tahun.
Kegagalan menyapih Rayya menurut saya pribadi ada banyak faktor, selain mungkin memang komunikasi saya yang buruk (hiks..), juga faktor psikologis dimana orang-orang sekitar kami yang merupakan support system utama merasa nggak tega setiap kali Rayya ngamuk-ngamuk minta nenen.

Bablas… Sampai Rayya 2 tahun 8 bulan masiiih aja nenen.
Berbagai komentar muncul dari lingkungan sekitar,
“Kok masih nenen? Malu ih sama si anu yang udah pinter mimi susu di gelas.”
“Ini cobain aja mimi dot, pasti suka deh lebih enak daripada nenen.”
“Makanya dari setahun mulai dikasih sufor, biar lepas nenennya gampang.”
Ya ya ya… Whatever.
Saya juga udah rajiiin baca-baca pengalaman ibu-ibu lain yang sukses menyapih anaknya dengan WWL. Di antaranya ada yang penuh lika-liku drama, tapi banyak juga yang sukses ‘hanya’ dalam 2 hari, dan ‘hanya’ dengan obrolan ibu ke anak.
Terkadang, bagi saya, success story orang lain, selain memotivasi, lebih banyak mengintimidasi : “Gue bisa kok lo enggak!”

Tapi saya meyakinkan diri lagi bahwa anak mah beda-beda karakternya dan tugas ibu lah untuk memahaminya, lalu mencari metode yang tepat untuk menyapih anak tersebut. Seperti yang akhirnya saya praktikkan saat tiba masa injury time untuk menyapih Rayya. Bayangkan, 4 bulan lagi dia berusia 3 tahun. Sementara frekuensi menyusu masih saja tinggi. Saya mulai sampai pada keputusan bahwa inilah saat yang tepat, nggak bisa ditunda lagi, bahwa Rayya harus belajar untuk mandiri dan menyadari Bunda tetep sayang Rayya walaupun tiada lagi nenen-nenenan *bahasa maksa hehe

Hari H eksekusi menyapih sudah ditentukan. Metode  wwl penyapihan sudah diputuskan. WWL? It should’ve been. Tapi setelah Rayya ngamuk-ngamuk tetap ingin nenen walau diberi pengertian A-Z, akhirnya saya pun menyerah, lalu berkata “Ini beneran lho, nenen Bunda udah nggak enak rasanya!”, dan menyodorkan puting susu saya…

… yang telah diolesi getah brotowali.

That’s it.
Baru aja bibirnya menyentuh puting, Rayya langsung merasakan sensasi pahitnya yang amit-amit (sebelumnya saya udah nyobain duluan gimana sih rasa brotowali itu, hoekkk banget dah pokoknya!)
Dan Rayya pun segera menjauh.Lalu nangis sambil minta penawar rasa pahit di lidahnya. Diteguklah segelas susu UHT rasa coklat.

Begitulah yang terjadi. Hasilnya sungguh ampuh. Malam harinya, besok-besoknya, Rayya otomatis ogah sendiri untuk minta nenen. Penyapihan pun berhasil. Walau tak dapat dipungkiri, efek setelah disapih itu sangatlah irritating (bersambung di post berikutnya ya).

Jadi, buat ibu-ibu lain yang berniat menyapih anaknya, beberapa tips yang mungkin berguna :
1. Kuatkan niat dan mental.
2. Bismillah.
3. Tetapkan hari eksekusi dan patuhi.
4. Kerjasama dengan support system di rumah.
5. Komunikasikan terlebih dahulu pada anak bahwa dirinya akan disapih, APAPUN nanti metode akhir yang akan dipilih.

Last but not least, jangan berkecil hati, bagi ibu-ibu (termasuk saya) yang gagal menyapih dengan WWL seperti pada teorinya. Walaupun pada awalnya saya ngebatin, “Duh, ini mah bukan menyapih dengan cinta, tapi dengan dusta…”
Hargai usaha dan niat awal, serta proses berjalannya penyapihan, toh ini semua juga berdasarkan rasa cinta, menyapihnya nggak sambil dibentak-bentak kan. So, it’s okay to correct your definition of Weaning With Love to Weaning with White Lie…because of love. 🙂

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mom sharing

Suami Meninggal Dinyatakan Suspek Covid-19, Istri Mengaku Menyesal Datang ke RS

Diperbudak Suami, Ibu Ini Rela Jadi Kuli Bangunan Selama 15 Tahun Demi Anak Bisa Sekolah